Senin, 23 April 2012

tulisan potret kehidupan

Potret Hidup Para Pemulung di Stasiun Senen, Jakarta Pusat



          Sering sekali dari kalangan masyarakat senang jika mendengar kata ‘JAKARTA’.
Ada rasa bangga mendengar nama “Jakarta”. Ibu kota negara kita dimana jakarta merupakan tempat bertugasnya para menteri dan presiden, tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Namun, Di balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret kehidupan yang menyeramkan. Apakah itu?
          Jakarta menjadi tempat tinggal orang terkaya dan termiskin di Indonesia. Untuk sebutan terkaya, bukan hal yang baru dan aneh lagi. Orang kaya memang pada umumnya memilih tempat tinggal yang nyaman. Salah satunya adalah Jakarta. Sedangkan sebutan termiskin kiranya tidak salah dialamatkan kepada para pemulung dan pengemis di negeri ini. Lihat saja beberapa foto. Ini hanya beberapa potret yang kiranya mewakili penderitaan di negeri ini.
          Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala kadarnya yang kadang-kadang dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas satpol PP. Tempat ini dipilih demi efektivitas bekerja. Sebagian besar dari mereka adalah pencari rezeki di gerbong kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol minuman ringan seperti aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk memperoleh uang.
          Selain botol, mereka juga biasanya memungut koran bekas dan kardus yang digunakan sebagai alas tidur di kereta. kardus bekas dijual dengan harga mulai Rp. 5000 per kilo gram. Sedangkan koran bekas biasanya dilipat lagi dengan rapi dan kemudian dijual dengan harga sekitar Rp. 1000 sampai Rp. 2000 untuk dijadikan kipas angin. Selain itu, kadang-kadang mereka mengambil makanan dan minuman sisa untuk sarapan. Kereta biasanya datang mulai pukul 2 sampai 5/6 pagi.
          Pernah seorang penulis tinggal dengan mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat pekerjaan dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau merasakan kehidupan mereka secara langsung harus tinggal dengan mereka. Waktu 2 minggu menjadi waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis bersama beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior. Praktisnya, kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun  pagi-pagi, mulung, mandi, sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam harinya.
          Kelihatannya hidup kami (saya dan para pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya kekurangan, kami biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang mengenang dalam benak saya.
          Kami tidak hanya memulung, kalau siang hari, kami menonton TV sambil membersihkan botol dan gelas aqua untuk dijual lagi. Atau juga sambil merapikan kertas koran untuk dijual kembali. Kalau ada rezeki banyak, kami juga membeli makanan spesial dari rumah makan terdekat, lalu bergembira bersama dalam pesta kecil-kecilan.
          Pemulung sebenarnya mempunyai cukup rezeki dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja yang saya lihat, pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung. Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga. Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki lagi.***
          Namun, sayangnya pemerintah kurang peka dalam melihat kehidupan di negri ini. Masyarakat di luar sana menggunakan banyak cara agar kehidupan keluarganya dapat terus berlangsung. Negara ini boleh saja memiliki banyak penjabat, presiden, menteri, gubernur, dsb tapi, hingga sampai sekarang kehidupan masyarakat pun belum bisa terjamin baik keamanan, kesejahteraan, kenyamanan, dll.
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/05/potret-hidup-para-pemulung-di-stasiun-senen-jakarta-pusat/
CPR, 5/4/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar