SEJARAH
KORUPSI DI INDONESIA
Korupsi
di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari
api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era
Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah
sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita
dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan
perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling
membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa
Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji
merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap
Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya
para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling
berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif
ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum
nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan
sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram
lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi
taringnya oleh Belanda.
Pada
tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun
1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian
Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
Benar
bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor
intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram.
Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing
(Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?),
lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi
dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan
“character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi
sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi
atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda
memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia,
maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan
Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi
dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak
kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’
seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih
didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil
nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku
“korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya
orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta
Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur
dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul
Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke
negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang
belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga
gemar korup.
Dalam
buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris
yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat
sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa
maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi
situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim,
kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh
budaya asing dan lain-lain.
Hal
menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa.
Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun,
di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak
terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu
keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal
rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau
mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka
atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka
disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai
tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya
kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek
ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus
menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya
yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya
korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam
mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang
(Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem
di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun
sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan
mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping
rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai
contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn
Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik
satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah
yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku
“memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban” kewajiban rakyat
terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 –
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam
Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih
menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya
kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi
peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi”
dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak
manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu
sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia
mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan “Sistem Pembudayaan”
menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti
apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku
dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh
juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu
pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang
dipaksa oleh “Belanda Item” (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi
2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh “Belanda Item” atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Era Pasca
Kemerdekaan
Bagaimana
sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi”
yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik
di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik
tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit,
sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan
belum bisa ditemukan.
Pada era
di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan
Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu
setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur
Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul
Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan
Roeslan Abdulgani.
Salah
satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat
negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha
Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik
Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas
sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet
Juanda).
Tahun
1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi
kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas
mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga
ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami
hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari
atasan.
Dalam
kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
“prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang
beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi
yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling
Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan
korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde
Baru
Pada
pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke
akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun
1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa,
akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang
ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era
Reformasi
Jika pada
masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan
elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan
Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan.
Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA
serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun
yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila
maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen”
alias “kelamaan”.
Kemudian,
Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini
dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim
Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas
korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di
samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden,
melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses
tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses
pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana
Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena
kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa
pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin
merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu
Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari
jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang
utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam
upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan
wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
Pelajaran
apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi
tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan
serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang
kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum
tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan
keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
Source:
http://swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar