- Pengertian
Hukum Pajak Internasional
Pengertian
hukum pajak ini dapat dibagi menjadi tiga bagian dari pendapat ahli hukum
pajak, yaitu:
1.
Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro,
bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas
kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari
traktat antar negara dan prinsip atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh
negara-negara
di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan
adanya unsur-unsur asing.
2.
Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani,
hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu
persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang
luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan
traktat-traktat.
3.
Menurut
pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional sebenarnya merupakan
hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan terhadap orang asing.
Persoalan yang terjadi dalam hukum pajak ini ialah apakah hukum pajak nasional
akan diterapkan atau tidak? Hukum pajak internasional juga merupakan
norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik mengenai
objeknya maupun subjeknya.
- Kedaulatan
Hukum Pajak Internasional
Hukum
pajak internasional Indonesia secara umum dapat
dikatakan barlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya yang berada di
wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan
dikenakan pajak berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum pajak internasional dapat berkaitan dengan subjek
maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang
erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan
Indonesia. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP
luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa
bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20%
dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis
antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia. Dalam hukum
antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan
sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur
kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang
ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara
lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muak, maka kedaulatan pemajakan
sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat dinyatakan sebagai
kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.
- Sumber-sumber
Hukum Pajak Internasional Prof. Dr. Rochmat Soemito dalam bukunya “Hukum
Pajak Indonesia, menyebutkan bahwa ada bebarapa sumber hukum pajak
internasional, yaitu:
1.
Hukum Pajak Nasional atau Unilateral yang
mengandung unsur asing.
2.
Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat
menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral maupun multilateral.
3.
Keputusan Hakim Nasional atau Komisi
Internasional tentang pajak-pajak internasional. Sedangkan dalam buku
“Pengantar Ilmu Hukum Pajak” karangan R. Santoso Brotodihardjo, S.H. menyatakan
bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:
Ø Asas-asas
yang terdapat dalam hukum antar Negara.
Ø Peraturan-peraturan
unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada
negara lain.
Ø Traktat-traktat
(perjanjian) dengan negera lain, seperti untuk
meniadakan atau menghindarkan pajak berganda, untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap
orang-orang asing, untuk
mengatur soal pemecahan laba di dalam hal suatu perusahaan atau seseorang
mempunyai cabang-cabang atau sumber-sumber pendapatan di negara asing, terjadinya Pajak Berganda Internasional yang umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak
ada hukum internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan
hukum antar dua negara atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak
berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau
lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan
pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih
besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan
yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari
negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara
bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama. Dari pengertian di
atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena atas suatu
objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali
sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak
tersebut. Selanjutnya Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa
sebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu:
ü Subjek
pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negera, yang dapat
terjadi karena domisili
rangkap, kewarganegaraan
rangkap, bentrokan
atas domisili dan asas kewarganegaraan
ü Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang
sama di beberapa negara.
ü Subjek
pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold
wide incom, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas
sumber.
- Cara
Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Ada
dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan cara
sebagai berikut:
ü Cara
Unilateral, dilakukan
dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari pajak berganda dalam UU suatu
negara dengan suatu prosedur yang jelas. Pengguanaan cara ini merupakan wujud
kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam
suatu UU.
ü Cara
Bilateral atau Multilateral Cara Bilateral atau Multilateral dilakukan melalui
suatu perundingan antar negara yang berkepentingan untuk menghindarkan
terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan secara bilateral oleh dua
negara, sedangkan multelateral dilakukan oleh lebih dari dua negara, yang lebih
dikenal dengan sebutan traktat atau tax
treaty. Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral
tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara
mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya
sendiri.
- Perjanjian
Dalam Pajak Berganda Internasional
Perjanjian
ini kebanyakan masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan persetujuan
persahabatan, persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan
pelayanan yang kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya
dengan beberapa macam pajak yang kebanyakan mencantumkan klausul tentang
keharusan adanya perlakuan yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari
negara-negara yang mengadakan persetujuan. Prosedur dari perjanjian kolektif
ternyata sukar untuk dilaksanakan karena bermacam-macam ragam, sistem dan asas
perpajakan di berbagai negara, dan karena lambannya prosedur perundingan untuk
tidak berbicara tentang lambannya atau resikonya pengukuhan oleh kepala
negara-negara peserta perjanjian. Ketentuan-ketentuan penting yang tercantum
dalam perjanjian-perjanjian pajak berganda secara singkat adalah sebagai
berikut:
1.
Orang-orang yang dapat menikmati keuntungan
dari perjanjian-perjanjian.
2.
Pajak-pajak yang diatur dalam perjanjian.
3.
Sengketa internasional.
4.
Arti
tempa kediaman fiskal.
- Kedudukan
Hukum Perjanjian Perpajakan
Bagaimana
kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia
dengan negara lain? Bila ditelusuri dasar hukum bisa diadakannya perjanjian
perpajakan antar negara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat
(1) UUD 1945 beserta perubahannya. Mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu
saja akan memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan
kepraktisan khusus dalam lalu lintas hukum internasional antara Indonesia
dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka tidak diperlukan lagi
persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja. Berdasarkan ketentuan Pasal 11
UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum perjanjian
perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang PPh. Kedudukan
hukum perjanjian perpajakan tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan Nasional.
KESIMPULAN
Hukum
Pajak Internasional merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena
adanya unsur asing, baik mengenai subjek maupun objeknya. Dan para ahli hukum
pajak juga banyak memberikan definisi tentang hukum pajak internasional salah
satunya yaitu; Prof. Dr. P.J.A. Adriani, seorang ahli yang banyak menulis buku
tentang perpajakan. Kemudian sumber-sumber hukum pajak internasional terdiri
dari Hukum Pajak Nasional, Traktat, Keputusan Hakim Nasional. Dan kedudukan Hukum
Perjanjian Perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang PPh,
kedudukan hukum tax treaty tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan Nasional.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar