Kamis, 06 Maret 2014

Kondisi Ekonomi Saat Ini Berbeda Dengan Tahun 1997/1998


          Jakarta -Saat ini kondisi ekonomi Indonesia memang tengah dalam tekanan, salah satunya dilihat dari kurs dolar AS yang saat ini nilainya mencapai Rp 11.700. Namun kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi ekonomi saat krisis 1997/1998. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menceritakan, dirinya tahu betul kondisi ekonomi Indonesia 1997/1998, karena saat itu sudah berkecimpung di dunia korporasi.

          "Dulu utang kita banyak yang tak tercatat, bukan hanya utang swasta, namun juga utang pemerintahnya. Tapi setelah krisis (1997/1998), ada UU Keuangan negara, dan pemerintah mempunyai neraca. Jadi kita tahu berapa utang negara, utang daerah, swasta, dan bahkan BUMN. Kalau di 1997/1998 kita tidak tahu," tutur Agus Marto saat pertemuan dengan sejumlah pimpinan media di kantor pusat BI, Jalan Thamrin, Jakarta, Jumat malam (22/11/2013).

          Agus mengatakan, pada saat krisis 1997/1998 banyak tindakan moral hazard yang terjadi di dunia perbankan Indonesia. Mulai dari pemilik bank, manajemen, hingga nasabah-nasabahnya melakukan tindakan moral hazard, atau tak sesuai aturan. Belum sampai di situ, pada saat krisis 1997/1998, Agus juga mengatakan ada tindakan-tindakan missmatch di Indonesia dalam sektor ekonomi. Contohnya, perusahaan swasta yang melakukan pinjaman dalam bentuk dolar, namun penghasilannya rupiah. Jadi bila dolar tiba-tiba menguat, kekuatan perusahaan untuk membayar utang lemah.

          "Jadi saat ini utang-utang sudah tertata, laporan keuangan juga sudah jelas. Transaksi perbankan juga dijaga. Kalau apda 1997/1998, ada bank yang masuk transaksi derivatif berisiko, sekarang dijaga betul. Belum lagi pergerakan dolar saat krisis dulu itu melonjak tinggi dari Rp 2.300 menjadi Rp 15.000. Ini membuat ekonomi berhenti," papar Agus.

          Meski begitu, Agus mengatakan, kondisi utang swasta Indonesia saat ini juga naik. Menurut data BI, utang swasta Indonesia jumlahnya naik dari US$ 73,6 miliar di 2009 menjadi US$ 136,6 miliar. Namun masih tetap terjaga, karena 76% utang swasta ini adalah berjangka panjang. Hingga Desember nanti, akan ada pembayaran utang swasta jatuh tempo US$ 8 miliar. Jumlah ini masih bisa terjaga, karena ada juga penarikan utang baru, sehingga tekanan terhadap rupiah masih terbatas

Sumber:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar