Minggu, 27 November 2011

Tugas pengantar komputer 1C

A.R.T.I.K.E.L
PERANAN IT KETIKA TSUNAMI MELANDA NEGARA JEPANG
            Untuk kesekian kalinya, bencana alam datang menghampiri negeri ini termasuk negara Jepang. Negara Jepang dikenal sebagai negara yang sangat maju bahkan pesat khususnya pada teknologinya. Pada dasarnya gelombang laut yang sering disebut dengan Tsunami itu berasal dari negara Jepang dimana kata Tsunami tersebut berawal dari 2 suku kata yaitu Tsu dan Nami yang masing-masing artinya yaitu pelabuhan dan  gelombang. Jepang termasuk negara yang sering sekali dilanda gempa bumi serta tsunami. Sebelumnya, jepang pernah mengalami hal yang serupa sekitar 15 Juni 1896 terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga menimbulkan gelombang besar di kota pelabuhan Sanriku (Jepang) dan menewaskan 22.000 orang serta merusak pantai timur Honshu sepanjang 280 kilometer. Bagi negara Jepang kejadian seperti ini sudah biasa.
            Dan kejadian ini kembali terulang pada 11 Maret 2011. Awal mula sebelum terjadi Tsunami pun hampir sama dengan sebelumnya yaitu diawali gempa yang berkekuatan 8,9 skala richter. Akibatnya terjadilah gelombang tsunami di sejumlah daerah. Negara ini mengalami sekitar 20 persen dari total gempa bumi di dunia  yang berkekuatan 6 skala richter atau lebih. Rata-rata, sebuah gempa bumi terjadi setiap lima menit di dunia. Gelombang tsunami dilaporkan terjadi di Kota Onahama di wilayah Fukushima dan diperkirakan lebih dari 10 ribu korban tewas. Selain itu, warga Jepang juga terancam mengalami radiasi akibat meledaknya reaktor nuklir. Gempa ini terjadi pada pukul 14.46 waktu setempat. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai peristiwa terdahsyat dalam 7 tahun. Beberapa saat setelah kejadian ini, Stasiun televisi NHK menampilkan sebuah video/gambar yang mengerikan yaitu tayangan gelombang laut yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Sendai.

                                            
            Namun, dari tayangan tersebut tidak ada satu orang pun yang berlari-lari untuk menyelamatkan barang berharga maupun keluarga mereka. Tidak ada suara histeris. Tidak ada reporter televisi yang berlari sambil mewawancarai orang-orang yang juga sedang berlari. Tidak ada  lagu-lagu pengiring (backsound) yang menyayat hati. Tidak ada hujatan – hujatan untuk pemerintah dan lembaga penanggulangan bencana, karena persoalan bantuan tanggap darurat. Tidak  ada tangisan. Tidak ada jurnalis yang melaporkan kepada pemirsa, seakan-akan berada didalam kondisi yang sangat gawat. Tidak ada anak-anak yang menjerit histeris, karena ketakutan.
Bahkan, Tidak ada mayat yang bergelimpangan di jalanan yang muncul di layar televisi. Yang terlihat hanyalah sebuah ketegaran. Hal itu semua terjadi karena Jepang memiliki sebuah stasiun televisi terbesar yaitu NHK yang memiliki teknologi canggih. NHK  merupakan satu-satunya lembaga penyiaran publik di Jepang yang memulai siaran radio pada tahun 1925.
Perusahaan ini didanai oleh iuran televisi yang dibayar oleh pemilik pesawat televisi dengan tujuan memberikan materi siaran yang bebas dari pengaruh politik atau lembaga swasta. Mereka setidaknya mempunyai 14 unit helikopter yang memantau perkembangan dari tiap sudut dan  jaringan kamera CCTV dari segala penjuru kota yang dapat di akses kapanpun. Dengan segala kecanggihan teknologi yang dimiliki, dapat dengan mudah mereka mempunyai gambar dari berbagai sudut dan visual yang ada di dalamnya sangat tenang situasinya.
            Hal ini sangat berbanding terbalik dengan teknologi yang dimiliki di Indonesia. Indonesia lebih mengutamakan eksistensinya sebagai media yang hebat dibandingkan dengan solidaritas akan saudara-saudara yang terkena musibah seperti mewawancarai korban selamat tapi hanya luka-luka akibat bencana. Para media tidak peduli, apakah korban sedang meringis kesakitan sambil memegang tubuhnya yang luka atau sedang berlarian menyelamatkan diri. Hal yang terpenting, para media mendapat bahan bicara untuk disiarkan di televisi. Media pun terbiasa dengan visualisasi yang mengedepankan eksploitasi korban dan seakan-akan bersaing memunculkan gambar mayat yang bergelimpangan untuk memberi penegasan bahwa bencana itu benar-benar mengerikan dan menyeramkan. Bahkan, yang sering muncul di media adalah soal distribusi bantuan yang terlambat. Peneliti LIPI, Irina Rafliana mencatat bahwa cerita tentang distribusi bantuan yang terlambat selalu muncul pada hari kedua atau ketiga setelah kejadian. Dan kemudian, media ramai-ramai menghujat pemerintah atau penanggungjawab penanggulangan bencana. Kejadian-kejadian seperti ini yang akan terus mengalami pengulangan di setiap bencana jika tidak segera diperbaiki.
            Dengan adanya peranan IT yang semakin lama semakin canggih, masyarakat Jepang khususnya dapat tertolong meskipun harta benda yang mereka miliki tidak dapat diselamatkan. Peranan IT didalam kehidupan sangat berpengaruh besar untuk mengetahui situasi di luar pandangan kita sehingga kita sebagai pengguna harus bisa memanfaatkan dan tidak menyalahgunakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar