Jakarta -Saat ini kondisi ekonomi
Indonesia memang tengah dalam tekanan, salah satunya dilihat dari kurs dolar AS
yang saat ini nilainya mencapai Rp 11.700. Namun kondisi ini jauh berbeda
dengan kondisi ekonomi saat krisis 1997/1998. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus
Martowardojo menceritakan, dirinya tahu betul kondisi ekonomi Indonesia
1997/1998, karena saat itu sudah berkecimpung di dunia korporasi.
"Dulu utang kita banyak yang tak
tercatat, bukan hanya utang swasta, namun juga utang pemerintahnya. Tapi
setelah krisis (1997/1998), ada UU Keuangan negara, dan pemerintah mempunyai
neraca. Jadi kita tahu berapa utang negara, utang daerah, swasta, dan bahkan
BUMN. Kalau di 1997/1998 kita tidak tahu," tutur Agus Marto saat pertemuan
dengan sejumlah pimpinan media di kantor pusat BI, Jalan Thamrin, Jakarta,
Jumat malam (22/11/2013).
Agus mengatakan, pada saat krisis
1997/1998 banyak tindakan moral hazard yang terjadi di dunia perbankan Indonesia.
Mulai dari pemilik bank, manajemen, hingga nasabah-nasabahnya melakukan
tindakan moral hazard, atau tak sesuai aturan. Belum sampai di situ, pada saat
krisis 1997/1998, Agus juga mengatakan ada tindakan-tindakan missmatch di
Indonesia dalam sektor ekonomi. Contohnya, perusahaan swasta yang melakukan
pinjaman dalam bentuk dolar, namun penghasilannya rupiah. Jadi bila dolar
tiba-tiba menguat, kekuatan perusahaan untuk membayar utang lemah.
"Jadi saat ini utang-utang sudah
tertata, laporan keuangan juga sudah jelas. Transaksi perbankan juga dijaga.
Kalau apda 1997/1998, ada bank yang masuk transaksi derivatif berisiko,
sekarang dijaga betul. Belum lagi pergerakan dolar saat krisis dulu itu
melonjak tinggi dari Rp 2.300 menjadi Rp 15.000. Ini membuat ekonomi
berhenti," papar Agus.
Meski begitu, Agus mengatakan, kondisi
utang swasta Indonesia saat ini juga naik. Menurut data BI, utang swasta
Indonesia jumlahnya naik dari US$ 73,6 miliar di 2009 menjadi US$ 136,6 miliar.
Namun masih tetap terjaga, karena 76% utang swasta ini adalah berjangka
panjang. Hingga Desember nanti, akan ada pembayaran utang swasta jatuh tempo
US$ 8 miliar. Jumlah ini masih bisa terjaga, karena ada juga penarikan utang
baru, sehingga tekanan terhadap rupiah masih terbatas
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar