Potret Hidup Para Pemulung di Stasiun Senen, Jakarta Pusat
|
Sering sekali dari kalangan masyarakat senang jika mendengar kata ‘JAKARTA’. Ada rasa bangga mendengar nama “Jakarta”. Ibu kota negara kita dimana jakarta merupakan tempat bertugasnya para menteri dan presiden, tempat bekerja dari para wakil rakyat, tempat tinggal orang-orang kaya di Indonesia, tempat beredarnya sebagian besar uang di negeri ini. Namun, Di balik deretan sebutan itu, ternyata Jakarta memiliki potret kehidupan yang menyeramkan. Apakah itu?
Pemulung di Stasiun Senen pada umumnya
bertempat tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka mendirikan lapak ala
kadarnya yang kadang-kadang dalam waktu tak terduga digusur oleh petugas satpol
PP. Tempat ini dipilih demi efektivitas bekerja. Sebagian besar dari mereka
adalah pencari rezeki di gerbong kereta. Kereta yang datang dari daerah Jawa
Tengah seperti Solo, juga Yogyakarta, dan Malang, Jawa Timur menjadi target
pemulung. Di kereta-kereta ini, mereka biasanya memungut botol minuman ringan
seperti aqua, mizon, dan sebagainya. Botol-botol ini dijual lagi untuk
memperoleh uang.
Pernah seorang penulis tinggal dengan
mereka pada awal tahun 2007 yang lalu. Rasanya jijik dan muak melihat pekerjaan
dan tempat tinggal mereka. Tetapi, beginilah kalau mau merasakan kehidupan
mereka secara langsung harus tinggal dengan mereka. Waktu 2 minggu menjadi
waktu yang menyenangkan pada saat itu. Meski kami bekerja cukup sulit, kami
mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan sehari-hari. Penulis bersama
beberapa teman menginap di rumah salah seorang pemulung senior. Praktisnya,
kami bekerja sesuai ritme kehidupan mereka. Bangun pagi-pagi, mulung, mandi,
sarapan, istirahat, jual koran, nonton TV, tidur lagi pada malam
harinya.
Kelihatannya hidup kami (saya dan para
pemulung) amat menderita karena tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tetapi, dalam
penderitaan itu, kami menemukan kebahagiaan. Kami menjalin relasi
antar-pemulung. Kalau seorang mendapat rezeki, yang lainnya kekurangan, kami
biasanya bersolider dengan membagi rezeki itu. Solidaritas inilah yang
mengenang dalam benak saya.
Pemulung sebenarnya mempunyai cukup
rezeki dibandingkan para pengemis yang hanya meminta. Hanya saja yang saya
lihat, pemulung di Stasiun Senen pada umumnya, tidak mempunyai budaya menabung.
Kalau hari ini dapat uang banyak, uang itu dihabiskan pada hari itu juga.
Prinsip mereka praktis sekali, hidup untuk hari ini. Besok, akan ada rezeki
lagi.***
Namun, sayangnya pemerintah kurang peka
dalam melihat kehidupan di negri ini. Masyarakat di luar sana menggunakan
banyak cara agar kehidupan keluarganya dapat terus berlangsung. Negara ini
boleh saja memiliki banyak penjabat, presiden, menteri, gubernur, dsb tapi, hingga
sampai sekarang kehidupan masyarakat pun belum bisa terjamin baik keamanan,
kesejahteraan, kenyamanan, dll.
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/05/potret-hidup-para-pemulung-di-stasiun-senen-jakarta-pusat/
CPR, 5/4/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar