Sabtu, 30 April 2016

TUGAS 3 : PSAK 1 PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN REVISI 2013



·         Perubahan PSAK 1 Tahun2009
Perubahan dilakukan dengan menggunakan istilah yang lebih tepat. Perubahan tersebut dapat terlihat pada judul yang semula Laporan Pendapatan Komprehensif Lain menjadi Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain. Selain itu, terdapat penambahan persyaratan penyajian dan pengungkapan pada informasi komparatif yaitu minimum dan tambahan yang semula tidak ada pengaturan tersebut di PSAK 1 tahun 2009. Komponen yang terdapat pada PSAK 1 tahun 2013 ini terdapat penambahan nama pada laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain dan penambahan laporan informasi kompratif yang tidak ada di PSAK 1 tahun 2009. Penyajian laporan terbagi ke dalam dua bagian yaitu Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain. Perubahan-perubahan tersebut diimplementasikan pada 1 Januari 2015 dan tidak ada penerapan dini.

·         Tujuan dan Ruang Lingkup
Penyajian laporan keuangan bertujuan agar dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya dan entitas lainnya yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan bukan syariah. Hal ini digunakan untuk dapat mengatur persyaratan bagi penyajian laporan keuangan, struktur laporan keuangan, persyaratan minimum, dan isi laporan keuangan.

·         Tujuan Laporan Keuangan
Laporan keuangan adalah proses penyajian yang disusun dari laporan keuangan dan kinerja keuangan dari suatu entitas. Laporan keuangan ini bertujuan untuk dapat memberikan informasi yang berkaitan posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas yang bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentigan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan ini menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Laporan keuangan menyajikan informasi yang mengenai asset, liabilitas, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik, dan arus kas.
Karakteristik umum dalam penyajian adalah penyajian yang secara wajar menyebutkan secara eksplisit kepatuhan terhadap SAK, laporan keuangan disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha, dan mengungkapkan fakta jika terjadi pelanggaran asumsi, dasar akrual, material dan agregasi, saling hapus, frekuensi pelaporan tahunan, informasi komparatif pada periode sebelumnya, dan konsistensi penyajian dan klasifikasi.
Ketentuan penyajian dalam suatu laporan tunggal laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, dengan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain disajikan dalam dua bagian. Kedua bagian tersebut disajikan bersama dengan bagian laba rugi disajikan terlebih dahulu dikuti secara langsung dengan bagian penghasilan komprehensif lain secara terpisah sehingga laporan laba rugi tersebut akan langsung mendahului laporan yang menyajikan penghasilan komprehensif.
Perubahan dalam kebijakan akuntansi menyajikan tiga laporan posisi keuangan pada akhir periode berjalan, akhir periode sebelumnya, dan awal periode. Entitas menyajikan laporan posisi keuangan ketiga pada posisi awal periode sebelumnya sebagai tambahan atas laporan keuangan komparatif minimum jika:
a.       Entitas menerapkan kebijakan akuntansi secara retrospektif, membuat penyajian kembali retrospektif atas pos-pos dalam laporan keuangan atau reklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan.
b.      Penerapan retrospektif, penyajian kembali retropsektif atau reklasifikasi memiliki dampak material atas informasi dalam laporan posisi keuangan pada awal periode sebelumnya.
Bagian penghasilan komprehensif lain menyajikan pos-pos untuk jumlah penghasilan komprehensif lain dalam periode berjalan, dan diklasifikasikan berdasarkan sifat (termasuk bagian penghasilan komprehensif lain dari entitas asosiasi dan ventura bersama yang dicatat menggunakan metode ekuitas) dan dikelompokkan, sesuai dengan SAK:
a.       Tidak akan direklasifikasi lebih lanjut ke laba rugi.
b.      Tidak akan direklasifikasi lebih lanjut ke laba rugi ketika kondisi tertentu terpenuhi.
Komponen pada laporan keuangan terdiri dari:
1.      Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode.
Terdapat perubahan definisi seperti kewajiban menjadi liabilitas dan hak minoritas menjadi kepentingan non pengendali (non-controlling interest). Penyajian Neraca digunakan untuk menilai material yang disajikan secara terpisah, namun jika tidak ada material yang dijelaskan dalam kelompok tetap ada penjelasan terpisah. Informasi minimal yang disajikan dalam laporan keuangan dapat ditambahkan jika penambahan tersebut relevan. Pembedaan aset lancar dan tidak lancar serta liabilitas jangka pendek dan jangka panjang adalah pajak tangguhan tidak boleh diklasifikasikan sebagai jangka pendek. Penyajian aset lancar dan tidak lancar dan liabilitas jangka pendek dan jangka panjang sebagai klasifikasi yang terpisah kecuali penyajian berdasarkan likuiditas memberikan informasi yang lebih relevan dan dapat diandalkan maka digunakan urutan likuiditas. Pemisahan jumlah yang diharapkan dapat dipulihkan atau diselesaikan setelah lebih dari dua belas bulan untuk setiap pos aset dan liabilitas, jika nilainya digabung.
Aset lancar dapat diklasifikasikan, jika akan merealisasikan aset, atau bermaksud untuk menjual atau menggunakannya, dalam siklus operasi normal, memiliki aset untuk tujuan diperdagangkan, mengharapkan akan merealisasi aset dalam jangka waktu 12 bulan setelah pelaporan atau kas atau setara kas (PSAK 2: Laporan Arus Kas) kecuali aset tersebut dibatasi pertukarannya atau penggunaannya untuk menyelesaikan liabilitas sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.
Liabilitas lancar dapat diklasifikasikan jika akan menyelesaikan liabilitas tersebut dalam siklus operasi normalnya, memiliki liabilitas tersebut untuk tujuan diperdagangkan, liabilitas tersebut jatuh tempo untuk diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan setelah periode pelaporan atau tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian liabilitas selama sekurangkurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan. Liabilitas keuangan yang dibiayai kembali yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan setelah periode pelaporan diklasifikasikan sebagai liabilitas jangka pendek, jika entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk membiayai kembali. Pelanggaran perjanjian utang yang mengakibatkan kreditur meminta percepatan pembayaran, maka liabilitas tersebut disajikan sebagai liabilitas jangka pendek, meskipun kreditur mengijinkan penundaan pembayaran selama 12 bulan setelah tanggal pelaporan tetapi persetujuan tersebut diperoleh setelah tanggal pelaporan.

2.      Laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain.
Laba komprehensif merupakan perubahan aset atau liabilitas yang tidak mempengaruhi laba pada periode berjalan yang meliputi selisih revaluasi aset tetap, perubahan nilai investasi available for sales, dan dampak translasi laporan keuangan. Terdapat dua laporan pada laporan ini yaitu laba sebelum laba komprehensif, dan laporan laba komprehensif dimulai dari laba/rugi bersih. Minimum Line Item L/R Komprehensif meliputi pendapatan, biaya keuangan, bagian laba rugi dari entitas asosiasi dan joint ventures yang dicatat dengan menggunakan metode ekuitas, beban pajak, suatu jumlah tunggal yang mencakup total dari laba rugi setelah pajak dari operasi yang dihentikan, dan keuntungan atau kerugian setelah pajak yang diakui dengan pengukuran nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual atau dari pelepasan aset atau kelompok yang dilepaskan dalam rangka operasi yang dihentikan, laba rugi, setiap komponen dari pendapatan komprehensif lain yang diklasifikasikan sesuai dengan sifat (selain jumlah dalam huruf (h)), dan bagian pendapatan komprehensif lain dari entitas asosiasi dan joint ventures yang dicatat dengan menggunakan metode ekuitas;
Informasi yang terdapat pada laba rugi komprhensif adalah ketika pos-pos pendapatan atau beban bernilai material, maka entitas mengungkapkan sifat dan jumlahnya secara terpisah. Penyebab pengungkapan terpisah adalah adanya penurunan nilai persediaan/aset tetap dan pemulihannya, adanya restrukturisasi atas aktivitas-aktivitas suatu entitas dan untuk setiap liabilitas diestimasi atas biaya restrukturisasi, pelepasan aset tetap dan investasi, operasi yang dihentikan, penyelesaian litigasi, dan pembalikan liabilitas diestimasi lain.



3.      Laporan perubahan ekuitas.
Laporan ini menunjukkan total laba rugi komprehensif selama suatu periode yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk dan pihak non pengendali. Rekonsiliasi antara saldo awal dan akhir periode yang timbul dari laba, pos pendapatan komprehensif dan transaksi dengan pemilik dan jumlah dividen yang diatribusikan kepada pemilik dan nilai dividen per saham, diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan

4.      Laporan arus kas.
5.      Catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lain.
6.      Informasi komparatif untuk mematuhi periode sebelumnya.
Informasi komparatif minimum berkaitan dengan periode sebelumnya untuk seluruh jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan periode berjalan, kecuali diizinkan atau disyaratkan lain oleh SAK. Informasi ini bersifat naratif dan deskriptif dari laporan keuangan periode sebelumnya jika relevan untuk pemahaman laporan keuangan periode berjalan. Penyajian dalam hal ini minimal ke dalam dua laporan posisi keuangan, dua laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, dua laporan laba rugi terpisah (jika disajikan), dua laporan arus kas dan dua laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan terkait.
Sedangkan informasi komparatif tambahan disajikan sebagai penambahan atas laporan keuangan komparatif minimum yang disyaratkan di dalam PSAK/ISAK, sepanjang informasi tersebut disusun sesuai dengan PSAK/ISAK. Informasi komparatif ini dapat berisi terdiri satu atau lebih laporan keuangan, namun tidak terdiri dari laporan keuangan lengkap. Ketika hal ini terjadi, entitas menyajikan catatan informasi yang berhubungan dengan laporan tambahan tersebut.

7.      Laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif sebelumnya yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

Sabtu, 23 April 2016

PERPAJAKAN INTERNASIONAL



  • Pengertian Hukum Pajak Internasional
Pengertian hukum pajak ini dapat dibagi menjadi tiga bagian dari pendapat ahli hukum pajak, yaitu:
1.      Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan  prinsip atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing.
2.      Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
3.      Menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan terhadap orang asing. Persoalan yang terjadi dalam hukum pajak ini ialah apakah hukum pajak nasional akan diterapkan atau tidak? Hukum pajak internasional juga merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik mengenai objeknya maupun subjeknya.

  • Kedaulatan Hukum Pajak Internasional
Hukum pajak internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan barlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan dikenakan pajak berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum pajak internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia. Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muak, maka kedaulatan pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.

  • Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional Prof. Dr. Rochmat Soemito dalam bukunya “Hukum Pajak Indonesia, menyebutkan bahwa ada bebarapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:
1.      Hukum Pajak Nasional atau Unilateral yang mengandung unsur asing.
2.      Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral maupun multilateral.
3.      Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak internasional. Sedangkan dalam buku “Pengantar Ilmu Hukum Pajak” karangan R. Santoso Brotodihardjo, S.H. menyatakan bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:
Ø  Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar Negara.
Ø  Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain.
Ø  Traktat-traktat (perjanjian) dengan negera lain, seperti untuk meniadakan atau menghindarkan pajak berganda, untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang-orang asing, untuk mengatur soal pemecahan laba di dalam hal suatu perusahaan atau seseorang mempunyai cabang-cabang atau sumber-sumber pendapatan di negara asing, terjadinya Pajak Berganda Internasional yang umumnya terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih. Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama. Dari pengertian di atas jelas bahwa pajak berganda internasional akan timbul karena atas suatu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu:
ü  Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negera, yang dapat terjadi karena domisili rangkap, kewarganegaraan rangkap, bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan
ü   Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara.
ü  Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold wide incom, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.

  • Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Ada dua cara untuk menghindari pajak berganda internasional, yaitu dengan cara sebagai berikut:
ü  Cara Unilateral, dilakukan dengan memasukkan ketentuan untuk menghindari pajak berganda dalam UU suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Pengguanaan cara ini merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu UU.
ü  Cara Bilateral atau Multilateral Cara Bilateral atau Multilateral dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan secara bilateral oleh dua negara, sedangkan multelateral dilakukan oleh lebih dari dua negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri.

  • Perjanjian Dalam Pajak Berganda Internasional
Perjanjian ini kebanyakan masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan persetujuan persahabatan, persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan pelayanan yang kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya dengan beberapa macam pajak yang kebanyakan mencantumkan klausul tentang keharusan adanya perlakuan yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari negara-negara yang mengadakan persetujuan. Prosedur dari perjanjian kolektif ternyata sukar untuk dilaksanakan karena bermacam-macam ragam, sistem dan asas perpajakan di berbagai negara, dan karena lambannya prosedur perundingan untuk tidak berbicara tentang lambannya atau resikonya pengukuhan oleh kepala negara-negara peserta perjanjian. Ketentuan-ketentuan penting yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian pajak berganda secara singkat adalah sebagai berikut:
1.      Orang-orang yang dapat menikmati keuntungan dari perjanjian-perjanjian.
2.      Pajak-pajak yang diatur dalam perjanjian.
3.      Sengketa internasional.
4.      Arti tempa kediaman fiskal.

  • Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan
Bagaimana kedudukan hukum suatu perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia dengan negara lain? Bila ditelusuri dasar hukum bisa diadakannya perjanjian perpajakan antar negara, maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945 beserta perubahannya. Mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khusus dalam lalu lintas hukum internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang cukup intensif, maka tidak diperlukan lagi persetujuan DPR tetapi cukup diberitahukan saja. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum perjanjian perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang PPh. Kedudukan hukum perjanjian perpajakan tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan Nasional.

KESIMPULAN

Hukum Pajak Internasional merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik mengenai subjek maupun objeknya. Dan para ahli hukum pajak juga banyak memberikan definisi tentang hukum pajak internasional salah satunya yaitu; Prof. Dr. P.J.A. Adriani, seorang ahli yang banyak menulis buku tentang perpajakan. Kemudian sumber-sumber hukum pajak internasional terdiri dari Hukum Pajak Nasional, Traktat, Keputusan Hakim Nasional. Dan kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang PPh, kedudukan hukum tax treaty tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan Nasional.

SUMBER

Brotodihardjo Santoso, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Refika Aditama